Oleh : Muhammad Sarman
Selamat berjumpa kembali dengan Media Online Gerbanginterview.com, kali ini kami hadir dengan tema “Seribu kisah”. Dan kali ini kami akan berbagi kisah yang berjudul “Perjuangan Seorang Ibu Buta Huruf atas Hak Warisnya yang hilang,” Semoga kisah yang kami sajikan ini bisa menjadi inspirasi pembaca untuk di jabarkan dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Berbuat baik itu, tidak perlu memandang lagi itu dilihat atau tidak, dihargai atau tidak, diterima atau tidak, karena memang sudah diniatkan untuk membantu masyarakat yang tidak berdaya dalam menghadapi permasalahan yang sering kali menjadi obyek keadilan yang tidak berpihak kepadanya.
Salah satunya contoh yang di alami Ibu T anak ke tuju dari 7 bersaudara, istilah orang Jawa Ibu T adalah anak ragil, ia hidup di salah satu pekarangan yang diyakini pekarangan tersebut hasil pembelian orang tuanya.
Ibu T tinggal di pekarangan tersebut bersama saudara tuanya nomor 1,2,3,4,5, saudara nomor 3 mempunyai anak 4 orang. Dan saudara nomor 6 hidup di Sumatra.
Awal timbulnya permasalahan Ibu T, ketika saudara tuanya nomor 1,2,4 dan 5 meninggal dunia dan saudara nomor 6 hidup di Sumatra, sedang saudara nomo 3 juga meninggal akan tetapi 4 orang anaknya juga tinggal dalam satu pekarangan tersebut, karena beda pendapat akhirnya pada tahun 2008 muncul surat pernyataan antara Ibu T dan anak keturunan nomor 3, surat pernyataan tersebut di saksikan seorang tokoh masyarakat seorang Kadus, dan di ketahui kepala desa setempat, isi persyataan pekarangan di bagi dua membujur ke barat, dengan pembagian 420 meter untuk anak turunnya nomor 3 dan 380 untuk anak nomor1,2,4,5,6,IbuT ( anak nomor7). Pasca pembagian itu di pertegas dengan pembatas pagar setinggi 2,5 meter.
Tragedi pecah saat adanya program PTSL 2019 – 2020, anak keturunan nomor 3 mendaftarkan PTSL dengan dasar Leter C atas nama orang tuanya nomor 3, pada akhirnya Ibu T protes namun tidak ada tanggapan proses PTSL di desa tersebut tetap jalan.
Padahal untuk proses sertipikat PTSL itu mestinya terhindar dari sengketa, ya karena ketidaktauan Ibu T ya akhirnya pasrah, pekarangan yang berdasarkan surat pernyataan itu di belah dua, setelah PTSL di belah 4 dan Ibu T tidak mendapat bagian.
Itulah seribu kisah yang di alami Ibu T, sudah buta huruf punya suami Tuna netra, yang saat ini Ibu T sedang mencari keadilan.
Yang pasti, dalam program PTSL ada persyaratan yang mewajibkan untuk di lakukan oleh para pemangku kebijakan dalam hal tersebut, yaitu bukti formil nya dan non formil nya, jika itu ada celah sengketa hendaknya jangan di paksakan, apalagi ada muatan kepentingan, selesaikan dulu sengketa nya, baru proses PTSL jalan.
Karena hadiah terindah dari Allah SWT adalah ketika kita dimudahkan untuk melakukan kebaikan.
Dan hati yang dekat dengan kebahagiaan akan menjadi hati yang kuat, teguh dan tak berharap apapun, walau tak dilihat, tak didengar, diabaikan dan sendirian semoga Ibu T yang sedang mencari keadilan di beri kekuatan, tetap sanggup melakukan kebaikan dengan segenap ketulusan, sebab hanya dari Allah berharap balasan.
Pesan buat Ibu T, jangan lupa untuk senantiasa menyertakan pada Allah SWT dalam setiap langkahmu.