Memilih Pemimpin, Memilih diri sendiri.
Gerbanginterview – Suatu ketika, beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja saya bertemu seorang teman lama, seorang yang selama ini lost kontak, dan karena dulu kami cukup akrab, serta kebetulan hari libur, maka kami sepakat menyempatkan untuk ngopi bareng.
Tak terasa ngobrol kami cukup lama, tentu ngobrol ngalor-ngidul dari cerita muda sampai cerita pengalaman hidup. Sungguh bertemu teman lama memang selalu berkesan dan mengasyikkan, meskipun bahkan kita sama-sama tidak tahu apa saja yang telah berlaku pada nasib masing-masing.
Ditengah obrolan itu, dimana dia ceritakan bagaimana selama ini dunia telah membentuknya, sya menangkap kesan, betapa dia cukup kaya pengalaman hidup yang sedemikian luar biasa, rasanya saya sendiri tak akan bisa punya pengalaman semenarik dan semenantang yang dia alami. Maka tak heran jika kerut – kerut kulitnya seakan menandakan dirinya telah matang dalam mengarungi luasnya kehidupan.
Singkat cerita, seperti biasannya kami pun akhirnya terlibat obrolan tentang situasi politik mutakhir saat ini.. sebuah situasi yang mafhum pasti menarik bagi siapapun, bahkan bagi awam seperti kami yang sama sekali tidak tahu menahu tentang makna politik yang sesungguhnya.
Awalnya, rekan saya ini berbicara tentang bagaimana dia dan keluarganya secara kebetulan mengenal salah satu calon presiden yang cukup populer saat ini.
Sampai kemudian dia juga cerita bagaimana dia mendapat perlakuan yang cukup istimewa berkaitan dengan perhatian capres dimaksud secara pribadi.
Sangat kebetulan pula, bahwa program yang dilakukan capres ini juga menyasar ke lembaga yang di-ampu-nya, sehingga manfaatnya sangat terasa bagi dirinya.
Demikianlah sehingga dia memuji tentang capres ini sebagai orang yang care dan respect serta patut untuk menjadi pemimpin nasional, walaupun dia sendiri sadar bahwa itu subyektifitas penilaian dirinya sendiri. Tentu hal seperti ini adalah hal yang wajar terjadi terhadap siapapun.
Terlepas dari cerita diatas, saya kemudian merenung, kalau saja setiap orang dalam memilih pemimpin digantungkan semata hanya berdasar dari apa yang dia peroleh dan bermanfaat atau menguntungkan bagi dirinya sendiri, bukankah menjadi wajar jika keadaan tidak pernah kunjung bisa membaik..? kenapa demikian? Bukankah itu perilaku wajar kebanyakan masyarakat? Apa salah dan konsekuensinya?
Memilih Pemimpin, atau memilih untung diri pribadi…?
Sesungguhnya sebuah kesalahan jika seseorang memilih pemimpin hanya sebatas yang memberikan keuntungan pribadi, namun kalaupun menginginkan keuntungan, maka memilih pemimpin itu semestinya seperti memilih guru dan sekolahnya, atau seperti memilih wali (pengganti orang tua) untuk mendidik anak anak kita.
Maukah kita serahkan anak anak kita pada guru dan sekolah yg tidak bermutu sama sekali? Maukah anak kita berada dalam asuhan orang2 yang tak berakhlak? Para begundal, penipu dan pencuri? Tentu saja tidak.
Adapun memilih pemimpin sesungguhnya lebih urgen dari itu semua, Maka memilih pemimpin untuk umat itu, secara ideal tidak tepat jika hanya berangkat dari ego diri pribadi, kedekatan, apalagi berangkat dari kepentingan yang hanya spesifik menguntungkan diri sendiri, Karena disadari atau tidak hal hal seperti itulah yang mengakibatkan adannya resistensi, potensi konflik interest, dan melahirkan budaya pragmatisme yang pada akhirnya mengeliminasi tujuan pemilihan yang sesungguhnya. Bahkan lebih jauh juga berakibat pada meningkatnya eskalasi sikap non demokratis. Jauh dari sifat dan sikap obyektif saat memilih pemimpin.
Sikap obyektif memilih pemimpin politik memang sulit dilakukan orang, dan itu tidak hanya berlaku pada yang awam politik (: bahkan yang praktisi politik pun melakukannya). Hal ini terbukti secara kongkrit dan dapat dilihat secara nyata pada kondisi carut-marutnya politik saat ini.
Kebanyakan kita lupa, bahwa memilih pemimpin sesungguhnya bukanlah memilih untuk diri sendiri, tapi memilihkan seseorang yang pantas untuk masyarakat, publik, dan umat.
Tendensinya harus diniatkan untuk kebaikan bersama, dan lebih tinggi lagi bagi seorang muslim adalah untuk menegakkan agama.
Yang mana hasil dari pemilihan pemimpin itu kemudian memberikan harapan kehidupan yang lebih baik untuk semuanya.
Keadilan untuk semua, kesejahteraan untuk semua, dan perlindungan serta pengajaran untuk semua. Maka tidak heran jika Islam mensyaratkan untuk mereka calon para pemimpin ini dengan syarat yang sangat ketat, yaitu berpokok pada kemampuan dan integritasnya, sidiq, amanah, fathonah dan tabligh, tentu agar tercapai tujuan kepemimpinan yang baik yang kemanfaatannya dapat dirasakan untuk semua, bukan orang per orang atau golongan tertentu, atau kroni kroninya saja.
Masyarakat seharusnya juga bersikap adil, Agar mereka mendapat pemimpin yg adil pula.
Masyarakat yang tidak tahu cara memilih secara adil sesungguhnya sama saja dengan menggali lubang kuburnya sendiri.
Setiap kecurangan yang dilakukan pasti berimbas pada pelakunya. Demikian pula masyarakat yang terlibat kecurangan dalam pemilihan, pada akhirnya akan selalu berimbas kepada dirinya sendiri, karena hasil pemilihan yang curang itu akan kembali kepada dirinya berupa kebijakan publik (yang diputuskan para pemimpin terpilih) yang tentunya juga akan jauh dari harapan yang berkeadilan.
Hal seperti ini sudah kita rasakan seperti kebijakan dihapusnya subsidi, pajak yang tinggi, perampasan aset tanpa ganti rugi, peradilan yang diperjualbelikan, korupsi yang masiv dll.
Kenapa bisa demikian, bukannya itu salah para pemimpinnya sendiri? Tidak juga, karena dalam sistem demokrasi yang letak pemilihannya ada ditangan rakyat, maka kesewenang- wenangan pemimpin terpilih itu tidak timbul dengan sendirinya. Sebab pada hakekatnya dia bisa timbul karena dipilih sendiri oleh rakyat, yang notabene ikut curang dan mementingkan diri sendiri.
Demikian kiranya jika rakyat ingin pemimpin yang shalih, maka rakyat sendiri juga harus shalih dalam memilih pemimpin.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi … ” (Awal Surah Al A’raf : 96)
Kesalehan memilih akan tercermin dari niat dan cara kita semua dalam memilih pilihan kita masing-masing.
Dan jika barangkali ada sebagian yang masih mengganggap pemilihan itu tidak penting, dan tak punya implikasi apapun, maka _bila kita seorang muslim tentu tidak demikian, sebab kita semua yakin bahwa pendengaran, pengelihatan dan hati nurani semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Tumangsari, 15 Oktober 2023, Sumber : Arifin, M)