MENUJU PERUBAHAN BOYOLALI
Gerbanginterview – POLITIK menurut berbagai sumber yang terpercaya adalah seni dan ilmu untuk mendapatkan kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional. Sedangkan penjabaran kata seni didalamnya ada kata etika, kata logika, dan kata estetika. Kata etika sangat dekat dengan keluhuran moralitas, kata logika mengacu pada kebenaran yang absolut, dan kata estetika menggambarkan tentang keelokan dan kepantasan
Merujuk dari kata kata diatas, penulis merasa tertarik untuk mengupas lebih dalam, lebih jauh tentang drama politik lokal yang terjadi di Boyolali, yang saat ini banyak mendapat sorotan dari warganya, bahwa warganya merasakan ada yang berbeda, bahwa warganya merasa alam politiknya sudah berbeda dari tahun – tahun sebelumnya.
Memang benar, dalam berpolitik harus ada etika, ada logika, dan ada estetika yang menjadi syarat mutlak dalam berpolitik. Coba kita kilas balik sebentar pada pemilu presiden dan pemilu legislatif yang baru saja berlalu, ibarat orang kecapaian belum pulih rasa capainya, tetapi di tuntut harus bekerja lagi, bahwa terkait dengan kata etika, logika dan estetika, sampai menjadi perdebatan yang sangat masif, karena pemilu presiden dan pemilu legislatif di cap banyak kecurangan.
Nah, pertanyaannya bagaimana dengan kata kata etika, logika, dan estetika bila diterapkan di pemilu kada 2024 ini, kususnya di Boyolali, apakah masih sama, ada kecurangan, pasalnya jika merujuk pada kata etika, logika, dan estetika, warga masyarakat menginginkan adanya seorang calon bupati yang bakal maju di pilkada Boyolali adalah benar benar sebagai pemeran politik yang profesional, bukan karena titipan, bukan sekedar jadi pemeran politik yang karbitan, tidak instan, dan bahkan masih mentah.
Sementara di saat ini, warga masyarakat Boyolali sebagian sudah ada yang deklarasi perubahan, hal ini dibuktikan sudah banyak kepala desa dan perangkat desa yang melakukan Deklarasi menuju perubahan.
Namun sebagian masyarakat Boyolali juga ada yang dirundung rasa kebingungan yang berkelanjutan, ibarat Seperti anak ayam kehilangan induknya, yang menggambarkan situasi di mana sebuah kelompok kehilangan pemimpinnya sehingga bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.
Bingung disini bukan bingung soal mau pilih calon bupati siapa, tetapi bingung atas pola pikir pemimpinnya yang kemarin- kemarin selalu dikuti segala perintahnya, ( Ngalor ya kita Ngalor, Ngidul ya kita Ngidul) ibaratnya seperti itu, kok sekarang yang ngalor ngidul malah pemimpinnya, ada apa gerangan… ?
Kembali pada soal etika, logika dan estetika, dimana letak etika seorang pemimpin, keluhuran moralitasnya, dimana logika, seorang pemimpin kebenaran yang absolut, dan dimana letak estetika seorang pemimpin, letak keelokan dan kepantasannya, Pemimpin itu Jangan Tinggal Glanggang Colong Playu, janganlah meninggalkan gelanggang (posisi) melarikan diri dan meninggalkan tanggung jawabnya.
Menurut kaca mata penulis, warga masyarakat Boyolali sangat antusias mendukung perubahan untuk Boyolali, hal ini dilihat dari banyaknya Kepala Desa yang ramai ramai deklarasi, banyaknya gambar calon bupati Boyolali Agus Irawan yang terpampang di tempat – tempat strategis, salah satunya yang terpasang di atas pagar rumah seorang pegiat partai politik tertentu, yang diam diam kabarnya juga sudah deklarasi menyatakan dukungannya untuk perubahan Boyolali.
Masyarakat menyikapi fenomena politik di Boyolali ini dari berbagai sudut pandang, ada yang mengatakan politik Bunglon, pindah tempat ganti warna cari aman katanya… Salam Waras… Merdeka…!!!